Di suatu sore yang cerah, seorang Arkeolog muda bernama Aria memulai petualangan intelektualnya. Aria terpukau dengan keindahan dan misteri seni cadas Indonesia – lukisan purba yang menghiasi dinding-dinding gua, menjadi saksi bisu peradaban yang telah lama hilang. Aria ingin mempelajari lebih dalam tentang seni cadas ini, tidak hanya sebagai karya seni, tetapi juga sebagai sumber informasi tentang kehidupan dan kepercayaan manusia prasejarah.
“Saya ingin mendiskusikan mengenai ‘Konteks Sosial Munculnya Gambar Cadas’,” ujar Aria, memulai perjalanannya.
Seorang pakar yang berpengalaman, Profesor Iwastri, menyambut Aria dengan senyum hangat. “Tentu, Aria. Saya senang membantu. Apakah kamu ingin penjelasan umum tentang fenomena ini, latar belakang sosialnya, atau aspek tertentu seperti dampaknya terhadap masyarakat?”
Aria menjawab dengan antusias, “Ketiganya, Profesor!”
Profesor Iwastri memulai dengan memberikan gambaran umum. “Gambar cadas prasejarah adalah gambar atau lukisan yang dibuat pada batu oleh manusia purba, biasanya selama zaman Paleolitik hingga Neolitik. Gambaran ini sering ditemukan di gua-gua dan batu-batu besar, dan biasanya berupa gambar binary dari manusia, binatang, atau simbol simbol tertentu.”

Kemudian, Profesor Iwastri menjelaskan latar belakang sosial munculnya seni cadas. “Gambar cadas prasejarah muncul sebagai bagian dari budaya awal manusia yang mencoba mengekspresikan pengalaman, kepercayaan, dan kehidupan mereka. Beberapa peneliti menyatakan bahwa gambar ini mungkin memiliki fungsi ritual, magis, atau keagamaan, seperti untuk meminta keberuntungan dalam berburu, menandai wilayah tertentu, atau sebagai bagian dari kepercayaan spiritual.”
“Bagaimana dampaknya terhadap masyarakat purba, Profesor?” tanya Aria.
“Gambar cadas ini memberi wawasan penting tentang kehidupan sosial, agama, dan budaya manusia prasejarah,” jawab Profesor Iwastri. “Mereka menunjukkan bahwa manusia purba memiliki taraf kognitif dan ekspresi artistik yang cukup tinggi. Secara sosial, gambar cadas juga memperlihatkan adanya ritual atau kepercayaan kolektif yang terikat dengan kegiatan berburu dan keberlangsungan hidup.”
Aria semakin tertarik. “Apakah ada data hasil penelitian yang menyebutkan bahwa masyarakat pendukung gambar cadas adalah para pemburu dan peramu yang hidup dalam kelompok-kelompok kecil?”
“Tentu saja, Aria,” jawab Profesor Iwastri. “Terdapat sejumlah hasil penelitian arkeologi dan antropologi yang mendukung gagasan tersebut. Ilmu Arkeologi dan Antropologi menunjukkan bahwa gambar cadas biasanya ditemukan di gua dan batu besar yang terkait dengan aktivitas berburu dan perburuan, serta kepercayaan spiritual masyarakat prasejarah. Masyarakat pemburu-pengumpul, yang biasanya hidup secara nomaden dan dalam kelompok kecil (sekitar 20-50 orang), kemungkinan besar yang menciptakan dan memanfaatkan gambar cadas ini.”
Profesor Iwastri menambahkan beberapa referensi penting, seperti karya Clark (1995) mengenai masyarakat pemburu-pengumpul di Sahara, serta penelitian Pettitt (2014) tentang hubungan budaya pemburu-pengumpul kecil dengan simbolisme. Artikel Pike et al. (2012) juga menyoroti bahwa gambar cadas terkait dengan ritual berburu dan kepercayaan kelompok kecil.
Kemudian, Aria meminta Profesor Iwastri untuk menjelaskan temuan dari artikel terbaru karya Oktaviana et al. (2024), yang meneliti seni naratif gua di Indonesia yang berusia sekitar 51.200 tahun.
Profesor Iwastri dengan senang hati mengintegrasikan temuan tersebut. “Studi terbaru dari Oktaviana et al. (2024) menegaskan keberadaan gambar cadas di Indonesia yang berusia sekitar 51.200 tahun, menunjukkan bahwa manusia prasejarah di kawasan Asia Tenggara juga telah mampu menciptakan karya seni simbolik yang kompleks dan memiliki fungsi keagamaan atau sosial.”
“Penelitian ini semakin menguatkan bahwa masyarakat pemburu purba di Indonesia mengenal simbolisme tinggi dan menggunakan gambar ini sebagai bagian dari praktik keagamaan dan simbol kolektif yang memperkuat ikatan sosial mereka,” lanjut Profesor Iwastri.
“Sungguh menakjubkan, Profesor!” seru Aria. “Saya semakin tertarik untuk mempelajari lebih lanjut tentang teknik yang digunakan untuk mengungkap misteri seni cadas ini.”
“Kalau begitu, kamu harus membaca artikel Ilmi et al. (2021) yang memberikan tinjauan komprehensif tentang penentuan umur radiometrik dan karakterisasi pigmen pada seni cadas di Indonesia,” saran Profesor Iwastri
Profesor Iwastri menjelaskan bahwa artikel Ilmi et al. (2021) menyoroti berbagai teknik analitik mutakhir yang digunakan untuk mempelajari komposisi, umur, proses pembuatan, dan faktor-faktor yang mempengaruhi warna pigmen dalam seni cadas. Teknik-teknik tersebut meliputi mikroskopi, spektroskopi, dan analisis sinar-X.
“Artikel tersebut juga menekankan pentingnya penelitian tentang pelapukan dan konservasi seni cadas,” tambah Profesor Iwastri. “Karena seni cadas rentan terhadap kerusakan akibat faktor lingkungan dan aktivitas mikroorganisme, kita perlu memahami bagaimana pigmen-pigmen ini berubah seiring waktu dan bagaimana kita dapat melestarikannya untuk generasi mendatang.”
Aria sangat berterima kasih atas bimbingan Profesor Iwastri. Dengan berbekal pengetahuan dan referensi yang baru, Aria siap untuk melanjutkan perjalanannya dalam mengungkap misteri seni cadas Indonesia. Perjalanan ini bukan hanya tentang memahami masa lalu, tetapi juga tentang menghargai warisan budaya yang tak ternilai harganya dan memastikan kelestariannya untuk masa depan. Kisah tentang warna-warni zaman es di Indonesia adalah kisah tentang kreativitas, adaptasi, dan hubungan mendalam antara manusia dan alam.
Indonesia, negeri kepulauan yang kaya akan warisan budaya, menyimpan jejak peradaban purba yang terukir di dinding-dinding gua. Seni cadas, demikian kita menyebutnya, adalah lukisan-lukisan prasejarah yang menjadi saksi bisu kehidupan manusia di masa lalu. Melalui goresan gambar binatang, manusia, dan simbol-simbol abstrak, kita dapat mengintip dunia yang telah lama hilang, mencoba memahami kepercayaan, ritual, dan cara mereka berinteraksi dengan alam. Begitulah, dengan semangat dan rasa ingin tahu yang tinggi, Aria siap menjelajahi jejak warna di dinding gua, menelusuri kisah seni cadas Indonesia yang menakjubkan.