Berburu dan kemudian makan di akhir pekan

Dulu pada periode prasejarah, sebelum manusia memutuskan untuk menetap mereka hidup nomaden, pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mereka berburu dan mengumpulkan makanan. Bayangkan hidup di masa ketika supermarket belum ada, dan makanan harus dicari langsung dari alam! Inilah kehidupan manusia purba pada zaman berburu dan mengumpulkan makanan. Mereka adalah petualang sejati, berpindah tempat untuk menemukan makanan terbaik dan bertahan hidup di lingkungan yang liar.

Alat Batu yang ditemukan Tim Zonasi Cagar Budaya Tebing Batu Putih Kabupaten Morowali Utara tahun 2024

Tanpa teknologi seperti yang ada di zaman sekarang, mereka memanfaatkan alat sederhana dari batu dan kayu untuk berburu hewan, menangkap ikan, dan mengumpulkan buah-buahan serta umbi-umbian. Hutan, sungai, dan padang savana menjadi ‘supermarket’ alami mereka. Salah satu tipe alat batu, seperti pada foto di atas, alat batu prasejarah yang ditemukan di salah satu situs arkeologi di Kabupaten Morowali Utara, dekat dari situs gambar cadas Tebing Batu Putih.

Tak hanya soal makanan, kehidupan sosial juga terbentuk secara alami. Manusia purba hidup dalam kelompok kecil, saling bekerja sama untuk berburu, meramu makanan, dan melindungi satu sama lain. Mereka berbagi tugas—laki-laki berburu, sementara perempuan mengolah makanan dan merawat anak-anak, atau juga mungkin sebaliknya.

Gambar Cadas di Leang Ulu Tedong Kabupaten Pangkep (sumber: Irsyad L, 2019)

Salah satu jejak paling keren yang mereka tinggalkan adalah lukisan gua. Lukisan ini menggambarkan adegan berburu dan interaksi dengan alam, memberikan kita gambaran bagaimana mereka hidup ribuan tahun lalu. Beberapa lukisan gua di Indonesia, seperti yang ada di Maros-Pangkep, merupakan bukti luar biasa tentang kreativitas dan kecerdasan manusia purba dalam beradaptasi dengan lingkungannya, mengembangkan pengetahuan untuk memanfaatkan sumber daya alam guna menunjang kehidupannya.

Seiring berjalannya waktu, mereka mulai menemukan cara yang lebih praktis untuk mendapatkan makanan—bercocok tanam dan beternak. Perubahan ini menandai awal kehidupan yang lebih menetap dan lahirnya peradaban manusia seperti yang kita kenal sekarang. Dan di era kiwari ini pada dasarnya kita masih “berburu dan mengumpulkan makanan” bedanya adalah di cara kita berburu dan juga cara kita mengumpulkan makanan.

Di era digital ini, berburu makanan bukan lagi soal berjalan menyusuri gang-gang kuliner, melainkan menjelajahi dunia maya dengan satu gesekan jari. Ribuan rekomendasi berseliweran di media sosial—mulai dari ulasan food blogger, influencer kuliner, hingga video menggoda di Instagram, TikTok, dan Facebook. Dari sana, kita menentukan pilihan: apakah tergoda oleh tampilan visual hidangan yang menggugah selera, tertarik karena harga yang ramah kantong, atau terpikat oleh atmosfer tempat makan yang Instagrammable?

Lebih dari sekadar mencari makanan, pengalaman kuliner kini telah menjadi bagian dari gaya hidup. Banyak orang berburu tempat makan bukan hanya karena rasa, tetapi juga karena ingin berbagi pengalaman di media sosial. Foto estetik, caption menarik, hingga ulasan singkat menjadi bagian dari ritual sebelum suapan pertama. Tak heran jika restoran dan kafe berlomba menciptakan konsep unik, menawarkan pengalaman makan yang bukan sekadar lezat, tetapi juga layak dibagikan.

Di balik tren ini, ada satu hal yang tidak berubah: sensasi menikmati makanan tetap menjadi inti dari segala pencarian kuliner. Mau di warung kaki lima atau restoran mewah, yang terpenting tetaplah rasa dan kepuasan di setiap gigitan.

Namun, tren kuliner saat ini semakin berkembang dengan berbagai konsep yang menarik. Restoran dan kafe tak hanya berlomba menyajikan rasa autentik, tetapi juga pengalaman unik bagi pelanggan. Konsep open kitchen, fine dining dengan immersive experience, hingga tempat makan dengan tema aesthetic terus bermunculan. Bahkan, tren “hidden gem” makin populer—orang-orang berlomba menemukan tempat makan tersembunyi yang menawarkan kelezatan tanpa banyak publikasi.

Tak ketinggalan, tren makanan sehat dan ramah lingkungan semakin diminati. Mulai dari restoran berbasis plant-based, sajian farm-to-table, hingga konsep zero waste menjadi pilihan bagi mereka yang ingin menikmati makanan dengan kesadaran ekologis. Di sisi lain, teknologi juga memainkan peran besar—aplikasi pemesanan makanan, layanan delivery eksklusif, dan tren review interaktif lewat media sosial menjadi bagian dari pengalaman kuliner modern.

Tak hanya soal mencicipi rasa, berburu kuliner juga telah menjadi tradisi akhir pekan bagi banyak orang. Setelah lima hari penuh disibukkan oleh pekerjaan dan rutinitas, akhir pekan jadi waktu yang tepat untuk sejenak melepas penat. Mencari tempat makan bersama keluarga atau teman bukan sekadar urusan perut, tetapi juga momen untuk bercengkrama, berbagi cerita, dan menikmati kebersamaan. Ada yang memilih restoran mewah, ada pula yang lebih senang menjelajah kuliner kaki lima dengan suasana yang lebih santai.

Bagi sebagian orang, kegiatan ini bahkan sudah seperti bentuk liburan mini—tanpa perlu pergi jauh, cukup duduk manis sambil menikmati hidangan yang menggugah selera. Apalagi kini banyak tempat makan yang menawarkan konsep unik, dari hidden gem ala kafe retro hingga restoran berkonsep garden yang nyaman. Jadi, akhir pekan nanti sudah ada rencana kulineran ke mana?

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top