Ketika Artefak Bicara: Etika Arkeolog dan Masa Depan Cagar Budaya

Pendahuluan

Di sebuah desa pesisir Sulawesi Selatan, sekelompok arkeolog menemukan pecahan keramik abad ke-14. Bagi sebagian orang, itu hanya serpihan tanah liat. Tapi bagi masyarakat setempat, itu adalah jejak leluhur—bukti bahwa mereka pernah menjadi bagian dari jalur perdagangan dunia. Bagaimana kita menjaga artefak seperti ini tanpa menghilangkan makna lokalnya?

Warisan budaya adalah fondasi identitas dan pengetahuan kolektif yang membentuk arah peradaban. Di tengah arus modernisasi dan pembangunan, pelestarian cagar budaya menjadi tantangan yang semakin kompleks—terutama ketika menyangkut temuan arkeologis yang memiliki nilai sejarah, ilmiah, dan sosial tinggi.

Arkeolog, sebagai pengungkap jejak masa lalu, memikul tanggung jawab besar. Tugas mereka tidak berhenti pada ekskavasi dan analisis, tetapi juga mencakup pelaporan, pelestarian, dan pengelolaan temuan sesuai dengan kerangka hukum dan etika profesi. Dalam konteks Indonesia, UU No. 11 Tahun 2010 dan PP No. 1 Tahun 2022 menjadi landasan penting yang mengatur kewajiban pelaporan temuan dan pendaftaran objek sebagai Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB).

Apa yang Harus Dilakukan Arkeolog Saat Menemukan Artefak?

Pasal 15 UU No. 11 Tahun 2010 menyatakan:

“Setiap orang yang menemukan objek yang diduga sebagai cagar budaya wajib melaporkan kepada instansi pelestarian cagar budaya.”

Dalam praktiknya, pelaporan ini dilakukan oleh arkeolog kepada Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang menangani urusan kebudayaan, biasanya Dinas Kebudayaan Provinsi atau Kabupaten/Kota. Di dalam OPD tersebut, pelaporan ditujukan secara khusus kepada Tim Pendaftaran Cagar Budaya, yang bertugas menerima, memverifikasi, dan mengusulkan objek sebagai Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB).

Selain itu, arkeolog juga dapat melaporkan langsung kepada Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) wilayah setempat—sebagai unit teknis Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang memiliki kewenangan dalam pelestarian cagar budaya lintas daerah. BPK akan melakukan kajian awal, dokumentasi, dan koordinasi dengan Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) untuk proses penetapan.

Setelah dilaporkan, objek diverifikasi dan dicatat dalam Register Nasional Cagar Budaya. Arkeolog tidak memiliki hak kepemilikan atas temuan tersebut; artefak menjadi milik negara dan tunduk pada perlindungan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 18 dan Pasal 19 UU No. 11 Tahun 2010, yang menyatakan bahwa cagar budaya adalah milik negara meskipun ditemukan di tanah milik pribadi.

Pasal 105 menyebutkan sanksi pidana bagi yang tidak melaporkan temuan, berupa penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar. Sanksi ini berlaku bagi siapa pun yang dengan sengaja menyembunyikan, memperjualbelikan, atau tidak melaporkan objek yang diduga sebagai cagar budaya.

Pelaporan bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga bagian dari etika profesi arkeologi yang menuntut transparansi, akuntabilitas, dan tanggung jawab ilmiah. Dalam Kode Etik Arkeolog Indonesia (IAAI, 2018), disebutkan bahwa arkeolog wajib menjaga integritas temuan dan melaporkan secara jujur kepada otoritas yang berwenang, demi kepentingan ilmu pengetahuan dan pelestarian warisan budaya.

Di Balik Ekskavasi — Seleksi Artefak dan Prosedur Pendaftaran ODCB

Bayangkan pagi yang hangat di lereng bukit karst Maros Pangkep Sulawesi Selatan. Tanah merah yang baru dibuka memperlihatkan lapisan-lapisan stratigrafi yang menyimpan jejak kehidupan berabad-abad silam. Di tengah suara cetok dan kuas yang menyapu pelan, tim arkeolog bekerja dalam diam yang penuh makna. Setiap serpihan keramik, tulang belulang, atau logam yang muncul dari tanah bukan sekadar benda—mereka adalah potongan narasi sejarah yang menunggu untuk diceritakan.

Dalam satu hari ekskavasi, puluhan hingga ratusan artefak bisa ditemukan. Pecahan gerabah, manik-manik, logam, sisa struktur batu, bahkan tulang manusia. Temuan ini beragam dalam bentuk, ukuran, dan tingkat keutuhan. Beberapa masih utuh dan memiliki ornamen khas, sementara lainnya hanya fragmen kecil yang nyaris tak dikenali. Namun semuanya memiliki potensi untuk mengungkap masa lalu.

Di sinilah tantangan dimulai. Tidak semua artefak dapat langsung didaftarkan sebagai Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB). Proses seleksi menjadi krusial dan harus dilakukan dengan cermat. Arkeolog harus menilai setiap temuan berdasarkan usia (minimal 50 tahun), keunikan, kelangkaan, nilai sejarah, pendidikan, dan potensi pelestarian. Artefak yang memiliki karakteristik khas, seperti inskripsi, bentuk langka, atau konteks stratigrafi yang kuat, biasanya menjadi prioritas untuk didaftarkan.

Namun, seleksi bukan berarti mengabaikan. Semua temuan tetap wajib didokumentasikan secara sistematis: difoto, diberi kode, dicatat lokasi dan kedalaman, serta disimpan dalam log temuan harian. Dokumentasi ini menjadi bukti bahwa arkeolog telah menjalankan tanggung jawab pelestarian, meskipun tidak semua artefak masuk dalam daftar ODCB.

Prosedur pelaporan ideal meliputi:

  1. Dokumentasi Lapangan
    Setiap artefak difoto, diberi deskripsi, dan dicatat dalam sistem identifikasi. Konteks stratigrafi sangat penting untuk memahami hubungan antar artefak.
  2. Pelaporan ke Instansi Pelestarian
    Laporan disusun dan dikirim ke OPD bidang kebudayaan (Tim Pendaftaran Cagar Budaya) atau Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) wilayah setempat.
  3. Verifikasi dan Pencatatan
    Instansi pelestarian melakukan kajian awal dan mencatat artefak dalam daftar ODCB.
  4. Kajian oleh Tim Ahli Cagar Budaya (TACB)
    Artefak yang lolos seleksi akan dikaji lebih lanjut untuk penetapan sebagai Cagar Budaya.
  5. Pelestarian dan Pengelolaan
    Artefak yang ditetapkan akan dilindungi dan dikelola sesuai regulasi.

Di lapangan, arkeolog tidak hanya berhadapan dengan tanah dan artefak, tetapi juga dengan waktu, cuaca, dan ekspektasi masyarakat. Ekskavasi bukan sekadar kegiatan teknis, tetapi juga proses yang sarat nilai, tanggung jawab, dan keputusan etis. Setiap artefak yang diangkat dari tanah adalah janji untuk menjaga, memahami, dan menghormati masa lalu.

Di Balik Laboratorium — Hak Analisis dan Etika Profesi Arkeolog

Setelah artefak diangkat dari tanah dan didokumentasikan, perjalanan ilmiahnya baru dimulai. Di ruang laboratorium yang sunyi, di antara rak-rak penuh katalog dan alat analisis, arkeolog memeriksa setiap detail: goresan halus pada permukaan keramik, residu organik pada tulang, atau komposisi logam dari pecahan mata tombak. Analisis ini bukan sekadar proses teknis, tetapi upaya untuk menghidupkan kembali narasi yang telah terkubur selama berabad-abad.

Namun, hak untuk menganalisis tidak datang begitu saja. Arkeolog harus mengajukan permohonan resmi kepada instansi pelestarian—baik Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) maupun OPD bidang kebudayaan. Permohonan ini mencakup penjelasan tujuan analisis, metode yang digunakan, dan jaminan bahwa artefak akan dikembalikan dalam kondisi terjaga. Transparansi dan akuntabilitas menjadi syarat mutlak.

Etika profesi arkeologi menuntut lebih dari sekadar izin. Ia menuntut integritas. Arkeolog harus menjaga keutuhan fisik artefak, tidak melakukan tindakan yang merusak, dan selalu mempertimbangkan nilai budaya lokal. Dalam proses analisis, arkeolog juga dituntut untuk melibatkan pemangku kepentingan—termasuk masyarakat adat, tokoh budaya, dan akademisi lokal—agar hasil kajian tidak hanya menjadi milik jurnal ilmiah, tetapi juga menjadi pengetahuan bersama.

Seperti yang ditegaskan dalam Kode Etik Arkeolog Indonesia (IAAI, 2018), arkeolog adalah penjaga nilai, bukan hanya pengumpul data. Mereka harus melaporkan hasil analisis secara terbuka, menyimpan data dengan rapi, dan memastikan bahwa setiap temuan memperkaya pemahaman publik tentang sejarah dan identitas bangsa.

Relokasi Artefak dan Penetapan Situs — Menjaga Tempat, Menjaga Makna

Tidak semua artefak dapat tetap berada di lokasi penemuannya. Faktor keamanan, konservasi, dan akses publik sering kali menjadi alasan utama pemindahan ke museum atau pusat pelestarian. Namun, relokasi bukanlah keputusan teknis semata—ia adalah keputusan yang menyangkut makna, identitas, dan hak komunitas lokal.

Bayangkan sebuah arca kuno ditemukan di halaman rumah warga. Arca itu kemudian dipindahkan ke museum nasional tanpa dialog, tanpa pelibatan masyarakat. Yang tersisa di lokasi hanyalah lubang kosong dan rasa kehilangan. Dalam kasus seperti ini, relokasi bisa menjadi bentuk penghilangan makna, bukan pelestarian.

Relokasi artefak diperbolehkan oleh hukum, tetapi harus melalui prosedur yang ketat dan konsultasi publik. Instansi pelestarian wajib mempertimbangkan konteks budaya, hak komunitas lokal, dan nilai sosial dari lokasi temuan. Bahkan jika artefak telah dipindahkan, lokasi penemuan tetap dapat diusulkan sebagai Situs Cagar Budaya, karena nilai arkeologis tidak hanya terletak pada benda, tetapi juga pada ruang dan lanskap tempat benda itu ditemukan.

Studi kasus pemindahan koleksi arkeologi oleh BRIN dari Barus dan Sulawesi Selatan ke Cibinong menjadi pelajaran penting. Penolakan masyarakat menunjukkan bahwa pelestarian yang terpusat dan tidak partisipatif dapat menimbulkan resistensi. Kelompok seperti Aliansi Penjaga Jejak Peradaban menegaskan bahwa pelestarian harus berbasis komunitas, bukan hanya berbasis institusi.

Arkeolog, dalam hal ini, memiliki peran penting sebagai mediator. Mereka harus menjembatani kepentingan ilmiah dan hak masyarakat, memastikan bahwa setiap keputusan pelestarian—termasuk relokasi dan penetapan situs—dilakukan dengan kepekaan, dialog, dan rasa hormat terhadap makna lokal.

Cultural Resource Management — Pelestarian yang Berpihak pada Nilai dan Komunitas

Pelestarian cagar budaya tidak cukup hanya dengan menetapkan artefak sebagai benda bersejarah. Ia harus dikelola sebagai sumber daya budaya yang hidup, yang memiliki makna sosial, identitas lokal, dan potensi edukatif. Di sinilah pendekatan Cultural Resource Management (CRM) menjadi relevan dan mendesak.

CRM menempatkan warisan budaya sebagai aset yang harus dikelola secara berkelanjutan, bukan sekadar dilestarikan secara fisik. Dalam studi oleh Reza Hudiyanto dan Ismail Lutfi (2021), pendekatan CRM di kawasan Cagar Budaya Penanggungan menunjukkan bahwa pelibatan masyarakat desa dalam pengelolaan warisan budaya mampu mencegah kerusakan dan meningkatkan rasa memiliki. Pelestarian menjadi lebih efektif ketika masyarakat tidak hanya menjadi objek, tetapi juga subjek pelindung warisan.

Prinsip CRM meliputi konservasi berbasis nilai (value-based conservation), pelibatan pemangku kepentingan (stakeholder engagement), dan dokumentasi berkelanjutan. Ini sejalan dengan temuan Romi Hidayat dan Daud Aris Tanudirjo (2024) yang menekankan pentingnya persepsi lokal dalam pengelolaan situs megalitik di Lembah Bada, Sulawesi Tengah. Mereka menunjukkan bahwa pelestarian yang mengabaikan nilai komunitas cenderung gagal secara sosial meskipun berhasil secara teknis.

Bagi arkeolog, CRM bukan sekadar metode, tetapi juga komitmen etis. Ia menuntut kepekaan terhadap konteks lokal, keterbukaan terhadap dialog, dan keberanian untuk menempatkan masyarakat sebagai mitra sejajar dalam pelestarian. Dengan CRM, pelestarian cagar budaya tidak hanya melindungi masa lalu, tetapi juga membangun masa depan yang inklusif dan berkelanjutan.

Penutup: Etika Arkeolog, Masa Depan Warisan

Menjadi arkeolog bukan hanya soal menggali masa lalu, tetapi juga tentang membangun tanggung jawab terhadap masa depan. Setiap artefak yang ditemukan adalah titipan sejarah yang harus dijaga dengan integritas, bukan hanya sebagai data ilmiah, tetapi sebagai warisan hidup yang bermakna bagi komunitas.

Etika profesi menuntut arkeolog untuk bertindak transparan, adil, dan bertanggung jawab. Seperti ditegaskan dalam Pedoman Etika Pelestarian oleh Direktorat Pelindungan Kebudayaan (2023), pelestarian harus dapat dipertanggungjawabkan secara akademis, hukum, dan moral kepada publik. Arkeolog bukan hanya peneliti, tetapi juga penjaga nilai, mediator budaya, dan fasilitator pelestarian.

Dalam era desentralisasi dan partisipasi publik, arkeolog harus mampu membangun dialog dengan masyarakat, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan lainnya. Pelestarian yang eksklusif dan birokratis hanya akan menjauhkan warisan dari pemilik maknanya. Sebaliknya, pelestarian yang inklusif akan memperkuat identitas, memperluas edukasi, dan memperdalam rasa memiliki.

Mari kita jaga warisan bukan hanya dengan tangan, tetapi juga dengan hati dan pikiran. Karena menjaga artefak berarti menjaga cerita. Dan menjaga cerita berarti menjaga jati diri bangsa. Arkeolog adalah penjaga waktu—dan waktu akan mengingat siapa yang benar-benar bertanggung jawab.

Daftar Pustaka

  1. Kompas.id. (2023, November 2). Pelibatan Tim Ahli Cagar Budaya melindungi situs prasejarah dari aktivitas industri. Kompas.id. https://www.kompas.id/artikel/pelibatan-tim-ahli-cagar-budaya-melindungi-situs-prasejarah-dari-aktivitas-industri
  2. Hudiyanto, R., & Lutfi, I. (2021). Penerapan Cultural Resource Management dalam pelestarian Cagar Budaya di kawasan Gunung Penanggungan. Jurnal Arkeologi Publik, 9(2), 45–60.
  3. Hidayat, R., & Tanudirjo, D. A. (2024). Persepsi lokal dalam pelestarian situs megalitik Lembah Bada, Sulawesi Tengah. Jurnal Warisan Nusantara, 12(1), 33–50.
  4. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2023). Pedoman Etika Pelestarian Cagar Budaya. Direktorat Pelindungan Kebudayaan.
  5. Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI). (2018). Kode Etik Arkeolog Indonesia. IAAI.
  6. Republik Indonesia. (2010). Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 130.
  7. Republik Indonesia. (2022). Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2022 tentang Register Nasional dan Pelestarian Cagar Budaya. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 1.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top